Jumat, 11 Mei 2012

Pendidikan bagi Tunarungu (SLB-B)


6.      Dinarti Utari                      ( 11 - 093  )
7.      Chindy                              ( 11 – 097 )
8.      Fonds Novel                     ( 11 – 105 )
9.      Dhara Puspita Hrp            ( 11 – 113 )
10.  Shellani Raudoh                ( 11 – 115 )

 
Psikologi Pendidikan
 
Anggota Kelompok :
1.      Gustrispa N Sirait             ( 11 – 035 )
2.      Fera                                 ( 11 – 037 )
3.      Dina Maharani Trg            ( 11 – 055 )
4.      Fania Hutagalung              ( 11 – 081 )
5.      Rossie Janette G. G          ( 11 – 087 )

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran atau kehilangan pendengaran yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indra pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen sehingga dibutuhkan suatu layanan pendidikan khusus. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
1.      Gangguan pendengaran sangat ringan ( 27 – 40 dB )
2.      Gangguan pendengaran ringan ( 41 – 55 dB )
3.      Gangguan pendengaran sedang ( 56 – 70 dB )
4.      Gangguan pendengaran berat ( 71 – 90 dB )
5.      Gangguan pendengaran ekstrem/tuli ( di atas 91 dB )
Berhubung karena memiliki hambatan dalam pendengaran, individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
            Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi / terpadu.
1.      Sistem segregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung.
2.      Sistem pendidikan integrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus
Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu :
1.      Pendekatan Auditori Verbal : mengajarkan seorang anak untuk menggunakan pendengaran disediakan oleh alat bantu dengar atau implan koklea untuk memahami berbicara dan belajar untuk berbicara. Anak diajarkan untuk mengembangkan pendengaran sebagai akal aktif.
2.      Pendekatan Auditori Oral : pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik ( mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat ).

Yang perlu diperhatikan oleh pendidik dalam memberikan pembelajaran pada anak tunarungu :
a.       Tidak berbicara membelakangi anak
b.      Anak hendaknya duduk atau berada di bagian paling depan kelas
c.       Bila hanya sebagaian telinganya yang tuna rungu, tempatkan anak sehingga telinga yang masih berfungsi dengan baik, dekat dengan guru
d.      Perhatikan postur anak
e.       Dorong anak selalu memperhatikan wajah guru
f.       Berbicara dengan volume biasa, tetapi gerakan bibirnya harus jelas
Anak tunarungu yang bersekolah di sekolah umum tidak selalu lebih baik kualitas hidupnya dari pada anak yang bersekolah di SLB, karena banyak anak-anak jebolan SLB yang berhasil menjadi seorang profesional bekerja secara formal, begitu juga sebaliknya.. Jadi, sekolah umum atau SLB bukan hal yang perlu dipermasalahkan asal pilihan orang tua sesuai dengan kemampuan anak. Dan tugas sebagai orang tua untuk terus membimbing, menemukan bakat serta potensi agar anak siap di kehidupan yang akan datang.

Sumber :
·         http://www.kaskus.us/showthread.php?t=13216563 ( 06 Mei 2012 )
·         http://anaktunarungu.multiply.com/journal/item/15 ( 05 Mei 2012 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar